Friday, April 30, 2010

Martir

Ayat bacaan: Matius 5:11-12
========================
"Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga."

martir, dianiayaApa yang menjadi alasan anda untuk menjadi pengikut Kristus? Ada banyak orang yang memilih untuk menjadi seorang Kristen agar usahanya diberkati, hidupnya selalu baik, masalah-masalah menjauh dari mereka, sakit disembuhkan, bisnis lancar dan sebagainya. Tuhan memang menyediakan itu semua kepada kita seperti yang sudah Dia janjikan. Dia lebih dari sanggup untuk itu. Tapi kekristenan bukanlah hanya berbicara mengenai berkat-berkat materi dan jasmani saja. Firman Tuhan mengingatkan kita demikian: "Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus." (Roma 14:17). Kerajaan Allah bukan cuma secara sempit berbicara mengenai berkat-berkat melimpah di dunia yang fana ini, tapi lebih luas lagi berbicara mengenai kebenaran yang memerdekakan, damai sejahtera dan sukacita yang telah diberikan oleh Roh Kudus. Terlalu picik jika kita menganggap bahwa menjadi seorang kristen hanya berarti menerima berkat semata tanpa mau menderita apa-apa.

Lihatlah apa yang tertulis dalam Ibrani 11. Setelah menuliskan tentang saksi-saksi iman, Penulis Ibrani kemudian menyinggung orang-orang yang menderita aniaya dan siksaan di luar batas perikemanusiaan demi Kristus. "Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan." (Ibrani 11:36-37). Ini tentu bukan gambaran yang baik untuk dialami oleh orang beriman bukan? Tapi lihatlah mereka terus mempertahankan iman mereka meski resikonya begitu mengerikan. Dan itulah yang gambaran para pengikut Kristus mula-mula. Apa yang mereka alami sama sekali tidak mudah. Ketika mereka memutuskan untuk menerima Yesus, itu artinya mereka harus siap untuk sewaktu-waktu ditangkap, dianiaya dan disiksa sampai mati. Bahkan dikatakan demikian di ayat selanjutnya: "Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik." (ay 39). Itu bukanlah sesuatu yang ada di benak kita ketika menerima Yesus bukan? Namun mereka tetap teguh terhadap iman mereka apapun resikonya. Hal itu pula yang tepatnya terjadi pada Paulus. Ketika ia masih bernama Saulus, semua orang takut padanya. Dan ia pun termasuk sosok yang kerap menyiksa umat Kristen. Tetapi setelah ia bertobat, hidupnya bukan semakin baik secara dunia, malah ia kerap mengalami penyiksaan, dirajam, disesah, dipenjara dan harus mati sebagai martir. Tapi itu tidak menyurutkan langkah Paulus dan para saksi iman yang harus rela mengakhiri hidupnya sebagai martir bagi Kristus.

Hari-hari ini kita masih mendengar tentang umat Kristen yang dianiaya bahkan dibunuh karena mempertahankan iman di berbagai belahan dunia. Mungkin diantara kita pun pernah mengalami sendiri bagaimana sulitnya untuk diperlakukan secara adil dan baik sebagai pengikut Kristus, tapi mungkin sebagian besar dari kita belum sampai mengalami aniaya atau penyiksaan di luar batas kemanusiaan hingga mati seperti yang dialami oleh apa yang disebut dalam Ibrani sebagai "mereka" seperti yang kita baca di atas. Saya pun berpikir, seandainya hal tersebut harus kita alami, apa yang akan menjadi keputusan kita? Akankah kita menyerah dan meninggalkan iman kita atau kita terus bertahan seperti para saksi iman di atas hingga akhir? Saya sendiri berharap agar saya bisa bersikap seperti Paulus yang mengatakan "selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah." (Kisah Para Rasul 20:23-24). Dalam bahasa Inggris kata "mencapai garis akhir" itu dikatakan sebagai "finish my course with joy", alias mencapai garis akhir dengan sukacita. Karena bukan apa yang ada di atas bumi ini yang harus kita pikirkan, namun sukacita kekal bersama Allah nanti, itulah yang harus menjadi tujuan kita. Paulus pada akhirnya sanggup berkata: "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." (2 Timotius 4:7) Dan saya berharap kita pun akan mampu berkata demikian kelak.

Yesus mengatakan "Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." (Matius 5:9-11). Apapun yang menghadang di depan kita, jangan sampai kita meninggalkan iman kita. Terus memelihara iman ketika kita memperoleh berkat tentu mudah, namun mampukah kita memiliki sikap yang sama ketika menghadapi ancaman dan penderitaan? Apakah kita sudah menjalani hidup dengan iman yang teguh seperti mereka? Ada mahkota kehidupan menanti di depan sana. Semoga kita semua mampu terus berlari hingga mencapai garis akhir yang penuh kemenangan dan berkata seperti Paulus: "aku telah mencapai garis akhir dan telah memelihara iman."

"Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:10)

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, April 29, 2010

Dua Peser

Ayat bacaan: Markus 12:44
=========================
"Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."

memberi, dua peserMemberi sumbangan untuk yang membutuhkan tentu baik. Tapi ada banyak orang yang memberi bukan karena merasa terpanggil untuk menolong, melainkan untuk mencari popularitas atau menarik simpati orang lain. Kita melihat para kandidat atau calon pemimpin di berbagai tingkat tiba-tiba gemar memberi ketika sedang berlomba memenangkan pemilihan, namun kemudian lupa setelah sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kita pernah melihat selebritis yang sengaja memanggil wartawan ketika mereka hendak menyambangi rumah yatim piatu atau memberi sedekah. Di sisi lain kita terus menemukan perdebatan antara keharusan memberi tepat 10% dari penghasilan atau memberi persembahan secara sukarela di gereja. "Pendapatan saya tidak banyak, jadi saya tidak bisa memberi saat ini. Setelah saya kaya nanti saja deh.." kata seseorang pada suatu kali. Ini semua menjadi gambaran yang umum kita lihat hari-hari ini. Memberi tanpa mengharapkan balasan, memberi dengan ikhlas, memberi dengan sukacita, memberi karena mengasihi semakin lama semakin langka. Seperti apa sebenarnya pandangan Tuhan tentang memberi?

Mari kita lihat Injil Markus 12:41-44. Pada suatu hari Yesus sedang duduk-duduk di Rumah Tuhan dan mengamati orang lalu lalang memberikan persembahan mereka. Bisa jadi beberapa di antara mereka dengan sengaja "beraksi" disana agar orang melihat betapa banyak yang mereka berikan. Kemudian seorang janda miskin hadir disana dan memberikan persembahannya. Markus mencatat kejadiannya seperti ini": "Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit." (ay 42) Dua peser yang ia berikan disana merupakan satuan koin terkecil yang berlaku pada saat itu. Dalam bahasa Inggrisnya dikatakan "the smallest of coins". Di mata manusia mungkin apa yang diberikan ibu janda tersebut tidaklah berarti apa-apa dibandingkan jumlah besar pemberian orang-orang kaya. Tapi lihatlah bahwa Tuhan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang. Bahkan Yesus berkata "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan." (ay 43). Mengapa bisa demikian? Ini alasannya: "Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (ay 44). Dia memberikan semua yang ada padanya. Ibu itu tidak bermaksud untuk mencari perhatian dari orang. Dia hanya melakukan apa yang bisa dia lakukan, memberi semampu yang ia bisa berikan. Dan Yesus melihat itu. Dan Dia pun menghargainya begitu besar.

Ingatlah bahwa Tuhan melihat semua yang kita lakukan. Tidak ada satupun yang luput dariNya. Mungkin kita saat ini belum mampu memberikan jumlah yang besar, tapi kita tidak perlu malu, kecil hati apalagi risau akan hal itu. Secara nominal mungkin kecil, namun di mata Tuhan itu sangat berarti jika kita memberikan yang terbaik dengan sukacita. Manusia mungkin melihat jumlahnya, tapi Tuhan melihat hati kita ketika memberi. "Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7b). Sikap hati kita ketika memberi, motivasi kita, itulah yang dinilai Tuhan. Bisa jadi kita sementara ini hanya sanggup memberi penghiburan kepada seseorang yang sedang mengalami kesedihan, melakukan sesuatu yang sangat sederhana atau mungkin sepele bagi seseorang, atau hanya mendoakan tetangga yang sedang menghadapi pergumulan secara diam-diam. Sekecil apapun itu, jika kita melakukannya dengan didasari hati yang benar, itu semua akan berarti sangat besar di mata Tuhan.

Hal lain yang perlu diingat ketika memberi adalah memastikan diri kita untuk tidak pamer dengan pemberian kita. Yesus mengingatkan: "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga." (Matius 6:1). Hal ini termasuk memberi sedekah. "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu." (ay 3). Jika tangan kiri saja tidak perlu tahu, apalagi orang lain. Jika motivasi kita benar dalam memberi, kita akan sadar bahwa tidak ada perlunya bagi orang lain untuk mengetahui sebanyak atau sebesar apa kita memberi. Dan Yesus pun berkata "Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (ay 4).

Berilah semampu kita, namun dalam konteks memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Kita tidak perlu takut kekurangan, karena bukankah kita punya Tuhan yang selalu mampu mencukupi, bahkan siap memberi dalam kelimpahan? Apa yang penting adalah bagaimana sikap hati kita, seperti apa isi hati yang mendasarkan kita dalam memberi. Itulah yang akan menentukan bagaimana reaksi Tuhan dalam menilai pemberian kita. Apakah itu dalam persepuluhan atau persembahan di gereja, atau membantu orang yang sedang kesusahan di luar tembok gereja, berarti tidaknya pemberian kita di hadapan Allah akan sangat tergantung dari bagaimana hati kita saat memberi. Paulus pun mengingatkan hal yang sama. "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita." (2 Korintus 9:7). Berilah bukan dengan paksaan, melainkan dengan sukacita. Sekali lagi, kita tidak perlu cemas akan kekurangan akibat memberi, karena firman Tuhan lewat Paulus berkata "Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan." (ay 8). Apapun yang mampu anda persembahkan saat ini, persembahkanlah dengan sukacita karena mengasihi Tuhan dengan sikap hati yang tulus. Dua peser atau bahkan satu peser sekalipun tetap akan dihargai oleh Tuhan jika kita berikan sebagai yang terbaik dari kita saat ini. Berikan yang terbaik dari apa yang anda miliki, dan lihatlah bagaimana Tuhan mampu memberkati kita dengan luar biasa.

Tuhan melihat hati kita ketika kita memberi

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, April 28, 2010

Farisi dan Keras Hati

Ayat bacaan: Markus 3:4
=====================
"Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?" Tetapi mereka itu diam saja."

keras hatiSeringnya mudah untuk melihat kesalahan orang lain, tapi sulit bagi kita untuk melihat kesalahan sendiri. Kita sering merasa diri kitalah yang benar dan segala yang berjalan tidak sesuai dengan kemauan kita dapat dijadikan sumber kecaman atau setidaknya gunjingan. Tidak peduli siapa orangnya, jika apa yang mereka lakukan atau putuskan seperti keinginan kita, maka kita akan mempersalahkan mereka. Di pekerjaan, dalam bertetangga, atau bermasyarakat dan bernegara kita berlaku seperti itu, dalam lingkungan gereja atau persekutuan pun sama saja. Ketika kita merasa sudah rajin beribadah, rajin berdoa dan sebagainya, berhati-hatilah agar tidak terlena dan merasa bahwa kita sudah menjadi yang paling sempurna. Bukan berarti kita tidak boleh bersyukur, itu tentu baik. Namun jangan kemudian menjadi sombong dan menganggap orang lain berada di bawah tingkat kerohanian atau kepatuhan kita. Orang-orang Farisi di jaman Yesus ada di muka bumi ini menjadi contoh nyata mengenai apa yang saya sebutkan di atas.

Mari kita lihat sepenggal saja bagian dari Markus 3 yaitu dalam perikop mengenai "Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat". Pada saat itu Yesus menjumpai seseorang yang lumpuh sebelah tangannya. Di sana ada sekumpulan orang Farisi yang sejak awal sudah bertujuan tidak baik. Mereka sejak awal memang mau mencari-cari kesalahan Yesus, dan mungkin inilah saat yang tepat, begitu pikiran mereka, karena mereka tahu Yesus pasti akan melakukan sesuatu terhadap orang yang lumpuh tangannya, padahal itu hari Sabat dimana seharusnya tidak ada yang boleh melakukan pekerjaan sesuai hukum Taurat. Sikap yang dipertontonkan orang-orang Farisi ini sungguh mengecewakan. Ketika mereka seharusnya peka terhadap permasalahan umatnya, ketika mereka seharusnya menjadi contoh teladan, yang mereka lakukan malah mencari-cari kesalahan dan menghakimi. Mereka terjatuh kepada dosa kesombongan, merasa diri paling benar, paling kudus, paling sempurna, sehingga hati mereka pun menjadi sangat keras. Setidaknya kita bisa melihat hal-hal berikut dari perilaku orang Farisi disana: mengecam pelayan/hamba Tuhan, melindungi tradisi keagamaan lebih dari mematuhi kehendak Tuhan, mementingkan keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri ketimbang orang lain di sekitar mereka, juga kesombongan merasa diri paling benar atau paling sempurna. Wajar jika Yesus pun merasa kecewa dan kesal dengan sikap mereka. "Kemudian kata-Nya kepada mereka: "Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang? " Tetapi mereka itu diam saja." (Markus 3:4). Lihatlah bahkan setelah ditegur Tuhan sekalipun mereka tetap diam tanpa menyadari sedikitpun kesalahan mereka. Kedegilan mereka dikatakan mendatangkan dukacita dan kemarahan bagi Yesus. (ay 5).

Ciri-ciri seperti orang Farisi itu tentu sering kita dapati pada orang-orang di sekitar kita, malah mungkin kita pun sekali waktu pernah melakukan hal seperti itu dalam hidup kita. Jika tidak hati-hati kita bisa terjatuh pada kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh para orang Farisi ini. Kita seringkali terlalu asyik dalam melakukan dan mengucapkan hal yang "benar" bagi diri kita sendiri sehingga tanpa sadar kita telah membiarkan hangatnya kasih Tuhan menjadi dingin. Ketika itu terjadi, kita pun akan dengan mudah jatuh kepada kesombongan, mementingkan diri sendiri dan tidak lagi peka terhadap persoalan yang dihadapi orang-orang di sekeliling kita. Bukannya menolong tapi malah bergunjing, mengkritik dan mengata-ngatai mereka.

Kegerakan dan kebangunan rohani secara besar-besaran tidak akan bisa terjadi jika kita masih terjebak dalam lubang yang sama seperti para Farisi ini. Oleh karena itulah jika kita ingin menyaksikan itu terjadi, jika kita ingin mengalami kuasa Tuhan dalam hidup kita dan juga dalam gereja kita, kita harus memeriksa diri kita sendiri secepatnya. Jika kita masih menemukan kedegilan atau kekerasan hati seperti itu, itu tandanya kita harus segera bertobat dan melembutkan hati. Firman Tuhan juga berkata "Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7), yang mengacu pada ayat dalam Mazmur 94:8. Hati yang keras akan membuat kita tidak lagi bisa mendengar perintah Tuhan, tidak lagi memiliki empati kepada sesama. Hati yang keras akan membuat kita semakin lama semakin degil. Hati yang keras akan menghambat curahan berkat dari Tuhan, bahkan menyekat hubungan kita dengan Tuhan. Kita harus mau memeriksa diri kita sendiri terlebih dahulu untuk melihat apakah masih ada sikap-sikap kita yang menghambat pertumbuhan rohani sesuai dengan yang diinginkan Tuhan dalam diri kita. Yakobus mengatakan "Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu." (Yakobus 1:27). Itu harus kita lakukan, karena jika tidak, maka itu artinya kita melewatkan kesempatan untuk memperoleh firman yang tertanam dengan baik dalam hati kita, dan dengan sendirinya membuang peluang untuk mendapatkan kuasa yang menyelamatkan.

Ketika anda rajin mendalami firman Tuhan, pastikan anda memiliki hati yang lembut agar firman itu bisa tertanam dengan baik. Tidak hanya berhenti pada diri sendiri, tapi juga tersalur ke luar agar menjadi berkat bagi orang lain. Jadilah anak-anak Tuhan yang peka terhadap pergumulan saudara-saudara kita. Bukan menghakimi, tapi bantulah mereka. Jika anda masih menemukan bagian-bagian keras dalam hati anda, mintalah Tuhan memberi hati yang lembut saat ini juga, sebentuk hati yang akan memungkinkan tuhan untuk melimpahkan rahmatNya pada anda.

Harden not your heart, keep it soft so His Words can grow nicely in you

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, April 27, 2010

Let's Shine!

Ayat bacaan: Yesaya 43:4a
=======================
"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau..."

kondisi fisik jelek, berharga di mata Tuhan"Seorang entertainer sejati tidak takut terlihat jelek, karena memang kadang kita harus terlihat jelek untuk alasan-alasan tertentu. Yang penting, kita bisa menghibur penonton yang mungkin datang dengan hati yang sedih. Semoga mereka bisa kembali ceria dengan suguhan kita.." itu kata seorang entertainer senior pada suatu kali kepada saya ketika berbincang-bincang. Itu benar adanya. Terlalu sering kita mengarahkan seluruh fokus kita kepada apa yang dipercaya dunia sebagai sesuatu yang indah, yang sempurna, dan karena itu kita sering menyesali diri, menganggap bahwa kita adalah mahluk yang penuh dengan segala yang kurang, tidak ada apa-apanya dibanding orang lain dan tidak berharga sama sekali. "Mau dijual berapa, orang dikasih gratis aja nggak bakalan ada yang mau kok.." canda seorang teman tentang dirinya pada suatu kali sambil tertawa.

Apakah hal seperti ini pernah atau sedang menimpa anda hari ini? Apakah anda memiliki fisik yang tidak sempurna? Ada cacat atau bekas-bekas luka tertentu di wajah atau bagian tubuh yang terlihat jelas? Merasa tidak secantik/seganteng orang lain? Tidak sepintar rekan-rekan sekerja, tidak memiliki baju atau aksesoris yang sepadan dengan lingkaran pergaulan atau pertemanan? Dan anda terus menghindar karena merasa rendah diri dan tidak sebanding dengan mereka? Anda merasa kecewa dengan kondisi diri anda? Itu banyak dialami orang, dan itulah akibat dari fokus yang hanya diarahkan kepada apa yang dipercaya dunia sebagai sesuatu yang sempurna. Tidak sedikit pula orang yang kemudian menuduh Tuhan pilih kasih kepada mereka. Jika si A bisa sesempurna itu, mengapa saya harus diciptakan seperti ini? Jika Tuhan berkata bahwa semua yang Dia ciptakan baik adanya, mengapa kondisi saya tidak baik? Pemikiran seperti itupun muncul karena kita hanya berpikir sempit, mengarahkan ukuran hanya kepada dunia saja. Padahal tidak seperti itu, karena biar bagaimanapun kita diciptakan Tuhan dengan tujuan masing-masing, dan semua itu sempurna adanya jika kita melihat dari kacamata Tuhan.

Bagaimana bisa dikatakan sempurna jika diri saya cacat? Cacat mungkin merupakan gambaran ketidaksempurnaan bagi manusia, tapi tidak bagi Tuhan. Ada banyak orang cacat sejak lahir namun justru mampu melakukan sesuatu yang luar biasa lewat keterbatasan kondisinya. Ada yang justru berhasil melebihi orang dengan tubuh lengkap dalam kondisi mereka. Pernah membayangkan seorang gitaris yang memiliki sebuah lengan buntung dan sebuah lagi hanya berisi dua jari? Itupun tanpa kaki? Ini nyata, dan ia aktif melayani di gereja di mana saya beribadah. Bagaimana seorang pianis wanita asal Korea mampu membuat banyak orang menangis terharu ketika ia hanya memiliki 4 jari secara total tapi bisa bermain lebih indah dari orang yang berjari lengkap? Itulah yang dimaksudkan Tuhan sebagai sempurna! Tuhan selalu punya rencana yang indah, tidak peduli seperti apa kondisi kita, dan itu berlaku bagi setiap orang, tanpa terkecuali.

Tuhan tidak membeda-bedakan anakNya berdasarkan kondisi fisik, ganteng atau tidak, pintar atau tidak dan sebagainya. Penggalan ayat dalam Yesaya hari ini menjadi buktinya. "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau.." (Yesaya 43:4a). Itulah pandangan Allah terhadap kita. Kita berharga di mataNya, kita mulia dalam pandanganNya, dan Dia sangat mengasihi kita. Indah bukan?

Pada suatu kali ketika Yesus dan murid-muridNya berjalan, mereka bertemu dengan orang yang buta sejak lahir. Pada murid mengarah kepada pandangan dunia, bahwa orang seperti itu pastilah memiliki masalah dengan masa lalunya. Mereka pun berdebat menghakimi orang itu. "Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" (Yohanes 9:2) Apa jawaban Yesus? "Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia." (ay 3). Bukan karena alasan kutuk, dosa atau lain-lain, bukan hanya itu satu-satunya alasan kita berada dalam kekurangan-kekurangan, tapi lihatlah bahwa Allah menciptakan orang itu agar pekerjaan-pekerjaan Allah bisa dinyatakan di dalam dia! Dengan kata lain, agar orang lain bisa melihat kuasa Allah bekerja lewat dirinya. Seperti itulah pandangan Allah. Dan jika itu yang menjadi tujuan Allah, maka tidakkah keberhasilan demi keberhasilan akan dinyatakan dalam hidup orang buta itu, sehingga orang akan mampu melihat kuasa Allah bercahaya dalam dirinya?

Apa yang menjadi masalah dari fisik anda hari ini? Anda merasa jelek? Kurang sempurna? Bagi dunia mungkin itu bisa menjadi kendala, namun di mata Tuhan anda sama berharganya dengan orang yang anda anggap paling sempurna secara fisik di muka bumi ini sekalipun. Apa yang penting adalah bukan bagaimana anda mengira dunia akan memandang anda, tapi yang terpenting adalah bagaimana anda memandang diri anda sendiri. Jika Tuhan memandang anda berharga dan mulia, dan Dia menyatakan sangat mengasihi anda, bukankah itu yang terpenting? Hidupi dan imanilah itu. Percayalah bahwa anda diciptakan secara sempurna dengan kasih yang melimpah. Tuhan meminta kita untuk menjadi terang dan garam, mengharapkan kita untuk menjadi agen-agen pembaharuan (the agent of change) yang bisa membawa dampak positif di dunia dimana orang akan bisa melihat kuasa dan kemuliaan Tuhan lewat diri kita. Dan itu tidak pernah tergantung dari kondisi fisik kita. Kemuliaan Tuhan bisa bercahaya dalam diri kita tidak peduli seperti apapun kekurangan yang kita miliki. Karena itu buanglah ketakutan-ketakutan dan rasa rendah diri yang menyelimuti anda. Biarkan cahaya Tuhan menyinari diri anda hingga anda bisa tampil cemerlang dimana pekerjaan-pekerjaan Allah akan terlihat nyata dalam diri anda. Apapun katanya, apapun kekurangannya, anda dan saya tetap bernilai di mata Tuhan. Are you ready? Let's shine!

Biarkan terang dalam diri kita bercahaya dimana kuasa Tuhan dinyatakan didalamnya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, April 26, 2010

Buat Apa Susah

Ayat bacaan: Matius 6:27
=====================
"Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?"

buat apa susah, kekuatiranIngatkah anda kepada sebuah lagu anak-anak yang sebagian liriknya berbunyi: "Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya"? Penggalan lagu berjudul Sayonara ini rasanya sering kita nyanyikan ketika kecil. Dan apa yang diajarkan dalam lagu ini sebetulnya baik, agar kita tidak tenggelam dalam kesusahan yang tidak membawa manfaat apa-apa. Namun lagu tinggal lagu, karena ternyata dalam perjalanan hidup kita seringkali kita menyerah kepada himpitan masalah. Kita terus kuatir akan hari depan, takut tidak menemukan jodoh, takut tidak lulus ujian, takut tidak mampu membayar berbagai rekening dan lain-lain. Kita berharap ada orang lain yang mampu menolong kita, namun sebenarnya bukan itu yang kita butuhkan, karena meski ada orang yang menolong dalam satu masalah, kita akan membuka kekuatiran baru pada masalah-masalah selanjutnya. Artinya, faktor penyebab kekuatiran seringkali berasal dari diri kita sendiri.

Firman Tuhan dengan jelas menyuruh kita agar tidak terjebak dalam kekhawatiran atau ketakutan-ketakutan dalam hal apapun. Mari kita lihat apa yang diajarkan Yesus mengenai hal kekuatiran. "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?" (Matius 6:25). Itulah pesan pembuka dari Yesus mengenai kekuatiran. Cuplikan lagu di awal renungan hari ini pun kemudian tergambar dari firman Tuhan. "Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?" (ay 27). Tidakkah itu benar? Apa manfaat yang bisa kita peroleh dari rasa kuatir kita? Apakah kekuatiran yang terus kita pelihara atau bahkan pupuk untuk terus membesar dalam diri kita akan mampu menjadi solusi meski sedikit? Tentu tidak, bukan? Tidak ada manfaat positif apapun yang bisa kita peroleh dari kekuatiran, malah yang kita dapatkan adalah tekanan yang lebih besar lagi dalam mental kita hingga kita pada suatu ketika menyerah dan putus asa, atau malah mulai berpikir untuk mengakhiri saja hidup ini.

Tuhan Yesus mengajak kita untuk melihat sejenak burung-burung yang beterbangan di udara dan merefleksikan hal tersebut kepada kondisi kita hari ini. "Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?" (ay 26). Lalu setelah memandang ke atas ke arah burung-burung, kita pun diajak untuk memandang lurus ke depan, ke arah bunga-bunga bakung yang tumbuh di ladang. "Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannyapun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu." (ay 29-30). Jika Tuhan memelihara burung-burung di udara dan bunga-bunga bakung di ladang yang tumbuh tanpa bekerja dan memintal, apalagi kita anak-anakNya. Tuhan pasti pelihara kita, yang dibuat secara istimewa, His masterpiece, seperti gambarNya sendiri. Oleh sebab itulah Yesus kemudian meminta kita agar tidak kuatir. "Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?" (ay 31). Tuhan tahu segala kebutuhan kita, dan Dia peduli dengan itu semua. Apa yang harus kita lakukan adalah ini: "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (ay 33). Itu janji Tuhan kepada anak-anakNya yang selalu berpegang teguh dan terus bertekun mencari Kerajaan Allah beserta kebenaran yang dikandung dalam Kerajaan Allah tersebut. Kita tidak perlu kuatir akan hari depan, sebab hari esok akan memiliki kesulitannya sendiri. "Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (ay 34) , dan kita tidak perlu khawatir, karena Tuhan sendiri yang akan memelihara kita, sesuai dengan janjiNya.

Diselubungi kekuatiran tidak akan pernah membawa hasil apa-apa selain bertambahnya masalah. Ayub punya pengalaman tentang hal ini, seperti apa yang ia katakan: "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku. Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul." (Ayub 3:25-26). Alangkah memprihatinkannya diri kita jika kita masih saja tenggelam dalam kekuatiran, kecemasan atau ketakutan padahal itu tidak membawa dampak apa-apa, sementara Tuhan sendiri sudah berjanji untuk memelihara hidup kita lebih dari burung-burung dan bunga bakung yang tetap ada dalam pengawasanNya. Daripada energi terbuang sia-sia, tidakkah lebih baik kita pergunakan untuk berbuat yang terbaik dalam mengatasi masalah dan untuk terus memfokuskan diri untuk lebih giat lagi memahami prinsip-prinsip Kerajaan Allah? Apapun masalah yang menimpa anda hari ini, ingatlah bahwa Tuhan sudah berjanji untuk memelihara hidup kita, anak-anakNya yang taat kepada perintahNya. Jika kita termasuk dalam kategori itu, tidak ada alasan lagi untuk kuatir, seperti apa yang diingatkan oleh Petrus. "Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu." (1 Petrus 5:7). Dalam segala hal, serahkanlah sepenuhnya kepada Tuhan, dan percayalah Dia lebih dari sanggup untuk menolong kita.

Jika burung dan bunga saja Tuhan pelihara, apalagi kita anak-anakNya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, April 25, 2010

Bully

Ayat bacaan: Yeremia 17:7
======================
"Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!"

dihina, disepelekan, bullyMasa orientasi kampus saat ini tidaklah seseram di waktu dulu. Ketika saya diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri sekian tahun yang lalu, masa orientasi masih dikenal dengan nama ospek, dan pada saat itu perlakuan terhadap mahasiswa/i baru masih sangat tidak terpuji. Saya ingat betul pada saat itu kami harus merangkak melewati selangkangan para senior, atau merangkak di bawah kolong meja, bahkan kami para pria harus pula masuk menceburkan diri ke dalam parit besar dan tidak boleh mandi selama masa orientasi itu berlangsung. Itu belum termasuk tindakan-tindakan yang memalukan lainnya, apalagi bagi orang-orang yang tidak satu suku dengan kaum mayoritas penghuni kampus itu. Saya termasuk korban yang lumayan sering dikerjai, karena kulit saya waktu itu terbilang putih. Beberapa teman lain yang berbeda ras juga mendapat perlakuan yang keterlaluan. Dihina dari sisi ras, diejek dan dijadikan bahan tertawaan. Bentuk seperti ini ironisnya bukan saja menjadi makanan di kampus setiap kali ada penerimaan mahasiswa baru, tetapi hampir di setiap jenjang pendidikan perlakuan tidak terpuji terhadap anak baru seperti mewabah di mana-mana. Istilah yang seringkali disebut dengan "bully" atau penindasan/pelecehan sampai penganiayaan bagi pelakunya mungkin hanyalah sebagai permainan belaka, namun efeknya seringkali berbekas lama bagi para korban. Tidak jarang di antara mereka akan terluka percaya dirinya hingga waktu yang lama, bahkan ada pula yang sampai bunuh diri karena tidak tahan mendapat hinaan.

Apakah ada tokoh di Alkitab yang pernah mengalami hal ini? Dan apa yang kemudian terjadi dengan mereka? Jelas ada. Setidaknya kita bisa menyebut dua nama, Yefta dan Daud. Kedua nama ini pernah mendapatkan perlakuan tidak adil dan menjadi olok-olok orang lain, bahkan dari keluarganya sendiri. Dalam kitab Hakim-Hakim 11 kita bisa mendapatkan kisah bahwa Yefta dikatakan lahir dari seorang pelacur. Karena itulah ia diusir oleh ibunya (istri Gilead, ayah Yefta) karena ia tidak berasal dari rahim sang ibu, istri sah Gilead. Yefta bukan saja diusir oleh keluarganya, bahkan ayahnya sendiri tidak membelanya, namun juga oleh para tokoh terhormat (tua-tua) di tempatnya. Namun pada suatu ketika, di saat serangan bani Amon terasa begitu sulit untuk diatasi, mereka pun menjilat ludah sendiri dan meminta Yefta untuk menjadi panglima untuk berperang melawan bani Amon. Kita tahu apa yang terjadi selanjutnya. Yefta dengan gemilang menundukkan pasukan bani Amon. Dengan kejadian itu, Yefta berhasil mempermalukan keluarga serta orang-orang yang pernah menghina dan mengusirnya. Dalam Alkitab dikatakan demikian: "Kemudian Yefta berjalan terus untuk berperang melawan bani Amon, dan TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangannya." (Hakim Hakim 11:32).

Mari kita lihat masa kecil Daud dalam 1 Samuel 17. Ketika saudara-saudaranya dengan gagah menjadi prajurit dan disanjung oleh orang tuanya, ia diabaikan dan hanya diberi pekerjaan sebagai gembala kambing domba di padang gurun. Pada suatu ketika orang-orang Filistin termasuk di dalamnya Goliat yang berukuran raksasa mengintimidasi mental pasukan Israel. Dan tidak satupun dari mereka yang berani maju, kecuali Daud kecil yang tidak ada apa-apanya dibandingkan prajurit bersenjata bangsa Israel. Namun apa reaksi saudara-saudara Daud? Ia disepelekan oleh kakaknya sendiri. "Ketika Eliab, kakaknya yang tertua, mendengar perkataan Daud kepada orang-orang itu, bangkitlah amarah Eliab kepada Daud sambil berkata: "Mengapa engkau datang? Dan pada siapakah kautinggalkan kambing domba yang dua tiga ekor itu di padang gurun? Aku kenal sifat pemberanimu dan kejahatan hatimu: engkau datang ke mari dengan maksud melihat pertempuran." (1 Samuel 17:28). Namun Daud tidak kecil hati. Ia dengan berani maju menghadapi Goliat. Daud berkata: "Pula kata Daud: "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu." (ay 37a). Ketika berhadapan dengan Goliat yang atribut perangnya lengkap, ia kembali dicemooh oleh lawannya. Tapi apa kata Daud? "Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu." (ay 45). Dan kita tahu bagaimana kisah akhirnya, Daud sukses mengalahkan orang yang jauh berukuran lebih besar darinya yang bersenjatakan sangat lengkap.

Jika kita melihat dua kisah di atas mengenai Yefta dan Daud, ada satu benang merah yang dapat kita tarik yaitu keduanya mengandalkan Tuhan dalam mengatasi permasalahan mereka. Mereka sama-sama tahu bahwa kemampuan mereka memang terbatas, mereka tahu kondisi mereka sangat memungkinkan untuk dijadikan bahan olok-olok, disepelekan, dihina dan direndahkan, namun mereka juga tahu bahwa dengan mengandalkan Tuhan, mereka akan mampu mengatasi masalah apapun. Keberhasilan akan terjadi ketika manusia yang terbatas mau mengandalkan Tuhan yang tidak terbatas kuasaNya. Yefta sejak awal sudah menyebutkan hal ini sebelum ia menerima permohonan para tua-tua untuk memimpin pasukan. "Kata Yefta kepada para tua-tua Gilead: "Jadi, jika kamu membawa aku kembali untuk berperang melawan bani Amon, dan TUHAN menyerahkan mereka kepadaku, maka akulah yang akan menjadi kepala atas kamu?" (Hakim Hakim 11:9). Dan Daud pun sama, seperti yang kita lihat dalam beberapa ayat di atas. Apa yang menjadi landasan keberhasilan mereka adalah sama, yaitu mereka mengandalkan Tuhan dalam tindakan mereka.

Jika hari ini ada diantara anda yang diremehkan, baik di kantor, di lingkungan, pertemanan atau di sekolah, janganlah kecil hati dan putus asa karenanya. Ingatlah bahwa anda berharga di mata Tuhan. Anda diciptakan dengan gambar dan rupaNya sendiri (Kejadian 1:26), dan tetap berada dalam telapak tangan dan ruang mataNya. (Yesaya 49:16). Dan bukankah Yesus pun dianugerahkan buat anda karena kasih Allah yang begitu besar terhadap diri anda? (Yohanes 3:16). Oleh karena itu, dalam menghadapi pelecehan atau penghinaan dari orang lain, tugas kita adalah terus berjuang dengan positif untuk membuktikan anggapan dan perilaku negatif mereka terhadap anda adalah salah. Buktikan bahwa anda bisa berprestasi, bisa sukses meski keadaan anda saat ini mungkin tidaklah sebaik mereka yang menghina anda. Bagaimana itu bisa dilakukan? Jelas, dengan mengandalkan Tuhan. Itulah yang menjadi kunci dari sebuah kesuksesan, dan bukan atas kuat kuasa dan hebatnya diri kita sendiri. Firman Tuhan sendiri berkata "Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!" (Yeremia 17:7) Diberkati bagaimana? "Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah." (ay 8) Itu janji Tuhan yang turun bukan kepada orang-orang yang berkuasa, kuat dan hebat secara manusiawi, tapi kepada mereka yang selalu mengandalkan Tuhan dan terus menaruh harapan pada Tuhan tanpa henti. Let's prove them wrong, and let them see how the story goes when we rely on God in everything we do.

Ketika disepelekan, teruslah berjuang dan buktikan bahwa bersama Tuhan kita bisa berhasil

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, April 24, 2010

Jangan Sia-Siakan Nafas Anda

Ayat bacaan: Mazmur 150:6
=======================
"Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!"

jangan sia-siakan nafas andaDi depan saya hari ini ada sekumpulan anak yang sedang bermain. Mereka mengambil setumpuk tanah dan mulai menghembuskannya ke muka teman-temannya. Mereka terus tertawa dan berlari-lari sambil sesekali terbatuk karena debu tanah yang menerpa muka mereka. Itulah yang terjadi ketika kita menghembuskan nafas ke arah debu tanah. Debu akan segera berterbangan dan mengotori muka orang yang kearahnya kita hembuskan bahkan mungkin sekali juga mengotori muka kita sendiri. Tapi apa yang terjadi ketika Tuhan menghembuskan nafasNya kepada debu tanah? Yang terjadi adalah seorang manusia! Manusia yang begitu rumit, kompleks, lengkap dengan kemampuan berpikir, akal budi, memiliki perasaan, bisa mengasihi, bisa berkembang biak dan bahkan dijanjikan sebuah kehidupan kekal kelak di sisi Allah sendiri.

"Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup." (Kejadian 2:7). Itulah awal mulanya manusia hadir sebagai mahluk yang hidup. Hembusan nafas hidup yang berasal dari Tuhan, itulah yang membuat kita menjadi mahluk yang hidup. Artinya, jika kita bisa bernafas hari ini, itu berasal dari hembusan nafas Tuhan sendiri.

Ketika kita menyadari bahwa nafas kita hari ini berasal dari hembusan nafas Tuhan, pernahkah kita berpikir untuk apa nafas kita sehari-hari kita pakai? Kita mungkin terengah-engah ketika naik tangga atau kecapaian setelah bekerja keras. Di saat lain kita mungkin mengisi saat-saat kita bernafas dengan berkeluh kesah atau menyesali hidup. Pemazmur melihat sisi lain dari sebuah nafas. Ketika nafas ini masih berada pada kita, adalah baik jika itu dipakai untuk alasan yang tepat, sebuah alasan yang menjadi landasan kita untuk hidup, yaitu untuk memuji Tuhan. Worship. "Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!" (Mazmur 150:6). Kita terus bernafas, karena jika tidak kita akan mati. Dan selama bernafas itu masih bisa kita lakukan, hendaklah itu dipakai untuk memuji Tuhan. Inilah ayat yang menjadi penutup dari rangkaian kitab Mazmur yang panjang itu.

Nafas tidak bisa kita simpan untuk dipakai kemudian. Jika kita memilih untuk menahan nafas, maka kita akan melewatkan kesempatan untuk itu. Bahkan jika kita menahannya untuk waktu yang lama kita bisa pingsan atau bahkan mati. Karena itulah selagi nafas itu masih ada dalam diri kita, kita harus mampu mempergunakannya dengan sebaik-baiknya demi kemuliaan Tuhan. Memuji, menyembahNya dan mensyukuri kebaikan-kebaikan Tuhan bagi diri kita. Jangan sampai kita menyia-nyiakan nafas yang telah Dia anugerahkan kepada kita dengan hal-hal yang menyakiti hatiNya. "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada.." (Kisah Para Rasul 17:28), menyadari itulah kita harus mempergunakan setiap kesempatan yang ada dalam hidup kita, selagi nafas masih ada, untuk terus memuji dan memuliakan Tuhan.

Meskipun kita tidak akan pernah bisa menghembuskan nafas ke dalam segenggam debu tanah untuk menghidupi seorang manusia, tapi nafas yang kita miliki bisa dipakai untuk mengeluarkan kata-kata penghiburan bagi yang sedang susah. Kita bisa menaikkan pujian dan penyembahan, we can use it to run and help others. Jika kita mempergunakan nafas yang kita miliki untuk hal-hal yang demikian, disanalah kita bisa memuliakan Tuhan. Dan dengan cara itulah kita tidak menyia-nyiakan nafas kita selagi masih ada. Seperti apa anda mempergunakan nafas anda saat ini? Jangan sia-siakan lagi nafas selagi masih kita miliki, sebelum pada suatu ketika itu kita sesali.

Selama kita masih bernafas, marilah pergunakan untuk memuji Tuhan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, April 23, 2010

Popularitas Tidak Penting

Ayat bacaan: Lukas 6:26
=====================
"Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu."

popularitas, orang benarBegitu banyak acara pencarian bakat yang menjamur di televisi. Berbagai bentuk idol dari anak kecil hingga dewasa terus bermunculan. Ketika dulu kita hanya menjumpainya dalam bidang seni suara alias menyanyi, saat ini hal-hal lain pun dijadikan ajang kompetisi mencari bakat. Dan ini sejalan dengan keinginan pasar dan gambaran dari impian kebanyakan orang. Siapa yang tidak ingin terkenal, dikagumi, atau diidolakan banyak orang? Sekali muncul di televisi, jutaan orang menyaksikan dan dengan sendirinya kita pun akan terkenal. Belum lagi berbagai tabloid atau majalah yang memuatnya. Tapi kebanyakan dari para idol ini hanya mendapatkan ketenaran dalam waktu singkat. Secepat mereka meroket, secepat itu pula mereka dilupakan. Berulang-ulang kita menyaksikan orang menjadi tenar dan dalam waktu singkat kemudian dilupakan, tetapi itu tidak menyurutkan niat manusia untuk berlomba-lomba mencapai ketenaran di mata manusia lainnya. Tidak jarang kita harus ikut-ikutan melakukan sesuatu yang, meskipun salah di mata Tuhan, namun kita merasa harus melakukannya agar bisa diterima di sebuah lingkungan atau kelompok tertentu. Semua hanya demi popularitas.

Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk mengejar popularitas. Populer di mata orang lain itu tidaklah penting. Firman Tuhan dengan tegas mengatakan "Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu." (Lukas 6:26). Celaka? Ya, karena semua itu bisa membuat kita lupa diri kemudian melupakan Sang Pemberinya sendiri. Apa yang dituntut dari kita adalah terus berupaya menjadi orang benar, semakin sempurna seperti Bapa di sorga (Matius 5:48), menghayati keberadaan kita sebagai manusia baru yang terus diperbaharui untuk lebih mengenal Allah dengan lebih dalam (Kolose 3:10) dan terus semakin menyerupai Yesus dengan pertolongan Roh Kudus yang telah dianugerahkan untuk diam di dalam diri kita. (2 Korintus 3:18). Itu yang diinginkan bagi kita, dan bukan untuk mengejar popularitas di mata manusia yang hanya sementara sifatnya.

Semakin tinggi kita menapak naik, kita seharusnya semakin kecil, dan Allah sendiri yang harus semakin besar. Yohanes Pembaptis bisa saja membanggakan diri sebagai sosok yang membaptis Yesus, tetapi lihatlah apa katanya. "Kamu sendiri dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah berkata: Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya...Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil." (Yohanes 3:28,30). Kemuliaan Allah harus terus semakin besar lewat pribadi kita dan dalam saat yang sama kita harus terus semakin rendah hati dan tidak tergiur oleh dorongan mencari popularitas di mata manusia.

Jika memang kita harus dianggap aneh oleh dunia, atau malah harus menghadapi resiko disingkirkan atau dikucilkan, so be it. Itu jauh lebih baik ketimbang kita mentolerir berbagai bentuk pelanggaran yang akan semakin menjauhkan kita dari posisi kita sebagai ahli waris Tuhan. Yesus bahkan telah mengingatkan "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Mengapa demikian? "Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya." (Matius 16:25). Dan ini adalah sesuatu yang kekal. An everlasting, eternal life. Itu yang dijanjikan oleh Kristus. Dan itulah yang jauh lebih pantas kita usahakan ketimbang mencari popularitas di dunia yang sifatnya hanya sementara ini. Tepat seperti apa yang dikatakan Yesus selanjutnya: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?" (ay 26). Apalah artinya popularitas di dunia dibandingkan dengan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hidup yang terberkati dalam Kerajaan Allah? Itu sama sekali tidak sebanding bukan?

Semakin jauh kita bertumbuh, semakin banyak pula kita akan berhadapan dengan pilihan demi pilihan. Melakukan sesuatu yang benar tapi beresiko dibenci atau disisihkan banyak orang, atau sebaliknya melakukan hal yang salah tapi akan dipuja-puja orang lain. Semua itu tergantung kita. Tidak mudah memang untuk tampil benar di dunia yang penuh kesesatan. Tidak mudah untuk tampil lurus di lingkungan yang bengkok. Tapi itulah yang menjadi panggilan kita. Tuhan memanggil kita untuk melakukan apa yang benar dan bukan untuk menjadi populer di mata dunia. Meski di mata orang lain kita tidak diterima sekalipun, ingatlah bahwa Allah selalu menghargai dan menerima keputusan kita untuk tetap tampil sebagai orang benar. Dan itu jauh lebih cukup ketimbang ketenaran di mata manusia yang bisa semakin menyesatkan kita dan semakin menjauhkan kita dari Tuhan.

Kita diminta untuk menjadi orang benar dan bukan untuk menjadi populer

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, April 22, 2010

Kesesuaian antara Perkataan dan Perbuatan

Ayat bacaan: Efesus 6:4
=====================
"Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan."

kesesuaian antara perkataan dan perbuatanAdalah lebih mudah untuk menjadi pengajar namun tidak gampang untuk menjadi pendidik. Maksud saya begini. Ketika kita menjalani profesi sebagai pengajar, yang diperlukan adalah kemampuan kita untuk mentransfer ilmu kepada anak didik kita. Jika proses itu berhasil menambah ilmu mereka, maka proses mengajar itu pun dikatakan sukses. Namun sebagai pendidik ada banyak lagi proses yang harus kita cermati. Kita harus tahu betul karakter dan sifat masing-masing anak, mengetahui kelemahan-kelemahan mereka dan berusaha menambalnya. Selama pengalaman saya menjadi dosen saya melihat bahwa seringkali proses mendidik ini lebih ditekankan kepada faktor diluar kurikulum pelajaran. Ada banyak anak yang sebenarnya tidak bermasalah dengan kemampuan menyerap ilmu, tetapi mereka bermasalah dari segi mental dan keberanian. Tidak jarang yang harus dibenahi justru di sektor ini karena kemampuan mereka sering terhambat oleh faktor non teknis. Satu lagi yang sangat penting untuk diperhatikan sebagai pendidik adalah bagaimana agar apa yang kita katakan dan ajarkan itu selalu selaras atau sejalan dengan sikap, perilaku atau perbuatan kita sendiri. Bagaimana mungkin orang mau mendengarkan nasihat kita jika kita sendiri tidak melakukannya? Kesesuaian antara perkataan dan perbuatan adalah sangat penting untuk dimiliki oleh seorang pendidik. Menjadi teladan itu wajib bagi pendidik.

Kemarin saya sudah menyinggung bagaimana untuk mendisiplinkan anak yang sesuai dengan firman Tuhan. Tuhan ingin kita mendidik anak-anak kita dengan caraNya. Ketika Tuhan menghajar kita demi kebaikan kita dan bukan karena ingin menyiksa, ketika Tuhan menghajar kita karena Dia mengasihi kita, seperti itu pula kita seharusnya mendidik anak-anak kita. Jika hukuman terpaksa diberikan maka berikanlah, tetapi ingat bahwa dasarnya harus karena kasih, demi kebaikan mereka dan bukan karena kita hanya ingin menjadikan mereka sebagai pelampiasan amarah kita. Satu hal penting lainnya yang seringkali dilupakan oleh para orang tua adalah sinkronisasi atau kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Ada begitu banyak orang tua yang hanya tahu memerintah tetapi hidup mereka sendiri tidaklah mencerminkan apa yang mereka ajarkan kepada si anak. Sebuah contoh kecil, jika seorang ayah mengajarkan anaknya agar jangan menyakiti teman-temannya, tetapi di sisi lain ia terus saja berlaku kasar kepada istri dan anak-anaknya, bagaimana mungkin si anak bisa memahami apa yang diajarkan? Kebingungan akan melanda mereka, dan mungkin juga marah karenanya. Dan biasanya, orang-orang yang kerap berlaku kasar terhadap orang lain adalah orang-orang yang kehidupan masa kecilnya dalam rumah tangga penuh dengan kekerasan pula. Berbagai dalih dengan mudah dikeluarkan oleh orang tua dengan menyepelekan anaknya. "Ah, tahu apa kamu.. kamu masih kecil!" Atau perkataan yang membenarkan perbuatan salah dan memaksakan anak untuk menerima semuanya mentah-mentah. "Saya kan orang tuamu, terserah saya dong! Kamu harus nurut!" Sesungguhnya sikap seperti ini bukanlah gambaran yang dikehendaki Allah untuk dilakukan oleh para orang tua.

Firman Tuhan berkata "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4). Ini adalah dasar penting bagi para orang tua, karena seringkali sadar atau tidak kita sebagai orang tua melupakan faktor kesesuaian antara perkataan dan perbuatan kita. Ini bisa mendatangkan kebingungan bagi anak-anak kita, dan mereka pun bisa marah karena hal tersebut. Kebencian, dendam, kepahitan, semua ini bisa tumbuh dalam diri mereka sejak kecil jika kita tidak menjaga sikap, tingkahlaku dan perbuatan kita ditengah mereka. Apa yang kita ajarkan haruslah sesuai dengan perilaku kita. Menjadi contoh nyata merupakan keharusan bagi setiap orang tua. Bukan hanya berhenti sampai mengajarkan moral, budi pekerti dan kerohanian, tetapi kita harus pula siap untuk menjadi teladan dari itu semua. Hanya dengan demikianlah anak akan mampu menyerap semuanya dan hidup dengan keteladanan orang tuanya hingga masa tua mereka nanti.

Sebenarnya bukan hanya dalam hal mendidik anak saja, tetapi dalam segala hal kita haruslah menyamakan perkataan dan perbuatan kita, termasuk dalam hal rohani. Kita bisa berkoar-koar memiliki iman, tetapi jika gaya atau cara hidup kita tidak mencerminkan apa yang kita katakan, bagaimana mungkin orang bisa percaya? Dilihat orang rajin berdoa panjang-panjang, tetapi kita hidup dalam kecemasan, kecurigaan atau kesinisan. Rajin beribadah namun isi perkataan kita hanyalah iri hati dan hujatan. Seharusnya tidak seperti itu, karena firman Tuhan berkata iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong (Yakobus 2:20) bahkan mati. (ay 26). Sebelum kita mulai mendidik anak-anak kita atau menjadi terang dan garam bagi sekeliling kita, kita harus terlebih dahulu mencermati apakah diri kita sudah menggambarkan apa yang ingin kita sampaikan mengenai kebenaran.

Alkitab berulang kali menyinggung soal pentingnya mempraktekkan atau melakukan kebenaran-kebenaran firman Tuhan yang telah kita baca atau dengar dalam kehidupan sehari-hari. Membaca itu baik, mendengarkan itu baik, merenungkan itu lebih baik lagi, tetapi yang lebih penting adalah melanjutkan apa yang telah kita baca, dengar dan renungkan itu dengan aplikasi nyata dalam kehidupan kita. Dalam surat Yakobus kita bisa membaca demikian: "Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya." (Yakobus 1:25). Sebagai orang tua, marilah kita membenahi diri untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan dan menjadi teladan bagi anak-anak kita. Berhentilah mencari pembenaran-pembenaran di hadapan mereka ketika berbuat salah, dan mari didik mereka dengan kasih, seperti halnya Tuhan mendidik kita dengan kasihNya yang sempurna. Masa depan mereka sangat tergantung dari bagaimana sikap hidup kita. Siapkah anda menjadi orang tua teladan di mata mereka?

Sesuaikan perkataan dan perbuatan kita agar selalu selaras dan jangan sampai membingungkan anak-anak kita

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Wednesday, April 21, 2010

Menghukum Anak

Ayat bacaan: Amsal 13:24
======================
"Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya."

menghukum anakSetiap orang memiliki sifat atau karakter masing-masing yang dibawa sejak lahir, tidak terkecuali anak-anak. Ada yang memang terlahir kalem, ada pula yang sangat aktif dan bandel. Seorang teman memiliki dua anak yang sudah tumbuh remaja, dan puji Tuhan keduanya tumbuh menjadi anak-anak baik yang takut akan Tuhan. Apakah keduanya punya sifat yang sama? Tidak juga. Tapi sepertinya cara teman saya mendidik merekalah yang mampu membentuk keduanya memiliki sikap baik seperti itu. Ia bercerita bahwa ketika anak-anaknya masih kecil ia sudah mulai membimbing mereka dengan tegas. Tegas dalam artian, ketika harus dihukum ya dihukum. Tergantung dari tingkat kesalahan. Jika masih bisa cukup dengan diingatkan tentu tidak harus dihukum. Tapi ketika kesalahan yang dilakukan si anak cukup berat, maka mau tidak mau hukuman harus diberikan. Yang harus diingat adalah bahwa tujuan memberikan hukuman adalah agar si anak menyadari kesalahannya, untuk tujuan mendidik, dan bukan untuk menyiksa mereka. Karena ada banyak orang yang menjadikan anaknya sebagai sasaran luapan kekesalan atau kemarahan mereka. Ini bukanlah bentuk hukuman yang membangun, karena yang terjadi mungkin sebaliknya. Anak akan semakin bandel dan punya karakter kasar setelah mereka besar nanti.

Apa kata Alkitab mengenai mendidik anak? Amsal Salomo berbicara banyak mengenai hal ini. "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." (Amsal 13:24). Lihatlah bahwa ketika kita memanjakan anak secara berlebihan dan tidak memberi hukuman ketika mereka berbuat salah, itu bukan berarti kita menyayangi anak, malah dikatakan sebaliknya, bahwa itu berarti kita membenci mereka. Saya sering menggambarkan anak kecil bagaikan kertas kosong. Seperti apa isinya nanti sangatlah tergantung dari seperti apa kita menulisnya. Jika kita ingin mereka menjadi orang-orang yang takut akan Tuhan dan hidup mencerminkan Kristus kelak, maka kita harus mulai mendidik mereka dengan benar sejak dini. Dan itu termasuk memberi hukuman yang bukan didasari oleh pelampiasan, tetapi oleh kasih. Alkitab tidak mengajarkan kita untuk memberi hukuman yang hanya didasari kekerasan sebagai pelampiasan kemarahan. Lihatlah ayat berikut ini: "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya." (Amsal 19:18). Emosi yang ditumpahkan seperti itu hanya akan menimbulkan luka dan kemarahan dalam hidup mereka. Lebih lanjut firman Tuhan pun mengingatkan "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." (Efesus 6:4). Itulah sebabnya kita harus mendasari didikan, hajaran atau hukuman dengan kasih.

Dengan kasih. Seperti itu pula Tuhan mendidik kita. Ada kalanya kita pun harus melalui hukuman Tuhan yang mungkin menyakitkan, tetapi itu semua Dia lakukan bukan untuk menyiksa kita, tetapi justru karena besar kasihNya pada kita. "..Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:6). Sekali lagi, itu karena Dia menganggap kita sebagai anak yang sangat Dia kasihi. Oleh karena itulah kita harus memperhatikan baik-baik ajaranNya, dan jangan berkecil hati jika kita diperingatkan Tuhan. (ay 5). "Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." (ay 8). Justru kita harus bersyukur ketika ditegur atau dihukum Tuhan, karena itu artinya kita adalah anak-anak yang dikasihiNya. Tuhan selalu rindu agar kita menjadi lebih baik lagi dari hari ke hari. Dan untuk membentuk karakter seperti itu, memang ada kalanya kita harus mendapat ganjaran atas kesalahan kita. Tidak enak memang, tapi bayangkan jika Tuhan membiarkan saja kita terus menuju jurang kebinasaan yang kekal. Tidakkah jauh lebih baik dihukum sekarang daripada dibiarkan binasa?

Seperti cara Tuhan mendidik kita, demikian pula seharusnya kita mendidik anak-anak kita. Tuhan menghajar orang bukan karena membenci, tetapi justru karena mengasihi. Itu pula yang harus menjadi dasar dalam mendidik anak-anak. Jangan lupa pula untuk memperlakukan masing-masing dengan mempertimbangkan sifat-sifat dasar mereka. Seringkali yang terbaik untuk dilakukan bukan menyamaratakan semuanya, tetapi berlaku adil dilakukan dengan memikirkan apa yang terbaik bagi masing-masing anak, karena firman Tuhan berbunyi "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." (Amsal 22:6). Apa yang kita ajarkan sekarang akan sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter mereka di masa depan.

Didiklah anak-anak kita sejak masa kecilnya, dan berikan hukuman jika memang harus. Tapi dasarilah itu semua dengan kasih dan bukan kemarahan. Kenalkanlah Kristus dengan segala kebaikanNya sejak dini. Jangan lupa pula bahwa sebagai orang tua, kita pun harus selalu mampu memberi contoh teladan lewat sikap hidup dan perbuatan kita sendiri. Lihatlah dalam kitab Ulangan. Setelah mengajarkan para orang tua untuk "mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun" (Ulangan 6:7), ayat selanjutnya menuntut para orang tua untuk menjadi contoh secara langsung seperti apa yang diajarkan kepada mereka. "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu." (ay 8-9). Berikan mereka contoh peran yang baik. Seperti apa kita mendidik mereka saat ini akan menghasilkan seperti apa mereka kelak di kemudian hari. Pada saatnya kelak kita akan bersukacita melihat anak-anak kita bertumbuh dalam kekudusan dan tidak mudah terpengaruh arus sesat dunia. Anda rindu untuk menikmati itu? Mulailah mendidik mereka dengan benar sesuai firman Tuhan hari ini juga.

"Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda." (Mazmur 127:4)

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Tuesday, April 20, 2010

Senang Melihat Musuh Jatuh

Ayat bacaan: Yunus 4:1
====================
"Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia."


senang melihat musuh jatuhBagaimana perasaan hati kita ketika melihat orang yang tidak kita sukai jatuh? Kebanyakan orang akan senang melihatnya. Apalagi jika orang itu pernah menyakiti hati kita. Kata-kata yang keluar pun biasanya bernada puas. Rasakan, biar tahu rasa, biar kapok, bahkan kata-kata yang lebih kasarpun akan keluar dari mulut kita. Ketika saya mengingatkan seorang teman yang merasa puas melihat seterunya jatuh, ia pun berkata "mengapa tidak? Dia sudah menyakitiku kan? Wajar dong kalau aku senang melihatnya.." Secara manusiawi mungkin ya, tetapi tidak ada alasan bagi kita orang percaya untuk melakukan hal seperti itu. Mengapa? Karena kita seharusnya memiliki kasih Kristus di dalam diri kita yang sama sekali tidak menyediakan tempat buat beria-ria terhadap kejatuhan orang lain, bahkan yang telah berbuat jahat terhadap kita sekalipun.

Hari ini mari kita lanjutkan kisah Yunus. Setelah ia keluar dari perut ikan dan kemudian memutuskan untuk taat terhadap perintah Tuhan, ia pun pergi untuk mengingatkan Niniwe agar bertobat. Dan pertobatan bangsa Niniwe pun hadir. Seisi Niniwe berbalik dari tingkah laku yang jahat dan berselubung kain kabung tanda pertobatan. Bukan hanya manusia, tetapi ternak-ternak pun demikian. Melihat itu, Tuhan pun mengampuni mereka. "Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya." (Yunus 3:10). Apa yang wajar menjadi respon Yunus melihat hal ini? Seharusnya ia gembira. Seharusnya ia merasa lega, bahwa tugas maha berat yang dibebankan kepadanya mampu ia selesaikan dengan baik. Seharusnya Yunus merasa bahagia melihat begitu banyak manusia yang terluput dari kebinasaan dan beroleh keselamatan. Tapi bukan itu yang menjadi respon Yunus. Justru sebaliknya, Alkitab mencatat respon Yunus adalah seperti ini: "Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia." (Yunus 4:1).

Niniwe merupakan musuh bebuyutan dari Israel. Buat apa Allah Israel menyelamatkan musuh umatNya sendiri? Itu mungkin yang menjadi isi hati Yunus. Ia mengira bahwa hanya bangsa Israel saja yang mendapat janji Tuhan, dan dengan demikian hanya Israel lah satu-satunya yang berhak diselamatkan. Yunus bahkan berterus terang mengungkapkan rasa marahnya melihat Niniwe diselamatkan. Tapi pikiran seperti itu sungguh salah. Lewat pohon jarak yang ditumbuhkan dan kemudian layu di hari selanjutnya Tuhan memberi pelajaran kepada Yunus bahwa bukan hanya Israel, tapi bangsa-bangsa lain pun layak untuk dikasihi Tuhan. "Lalu Allah berfirman: "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?" (Yunus 4:10-11). Bukankah mereka pun Tuhan yang menciptakan? Bukankah mereka juga diciptakan menurut gambar dan rupaNya? Jika demikian, bagaimana mungkin Tuhan tidak mengasihi mereka juga?

Yunus memang mentaati perintah Tuhan, namun hatinya ternyata masih sama kerasnya seperti saat ia melarikan diri dari penugasan Tuhan. Di dalam hatinya ia masih tetap menginginkan kehancuran Niniwe. Itu bukanlah sikap yang diinginkan Tuhan untuk kita miliki. Ada banyak orang-orang yang pernah, sedang dan akan menyakiti kita di kemudian hari. Terhadap mereka kita tidak diperbolehkan untuk mendendam apalagi mengutuk. Justru yang diinginkan Tuhan adalah sebentuk kasih yang didalamnya terdapat pengampunan tanpa batas. Kita juga dituntut untuk selalu berbuat baik bagi mereka, bahkan mendoakan mereka. "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu... kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat." (Lukas 6:27,35). Dalam Injil Matius dikatakan "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44). Ini merupakan perintah penting yang digariskan Tuhan untuk kita amalkan dalam kehidupan kita. Mungkin berat bagi kita, tapi ingatlah bahwa ada Roh Kudus di dalam diri kita yang akan memampukan kita untuk berbuat demikian.

Tuhan mengasihi semua ciptaanNya di dunia ini. Siapapun manusianya, baik atau jahat, semuanya tetap layak untuk diselamatkan. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia." (Yohanes 3:16-17). Kasih Allah itu besar bagi siapapun tanpa terkecuali, bukan hanya terhadap Israel saja. Kedatangan Yesus pun bukan hanya untk menyelamatkan segelintir umat pilihan, tapi berlaku untuk siapa saja yang percaya padaNya, tanpa pandang bulu, tanpa terkecuali. Tuhan Yesus berkata "Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala." (Yohanes 10:16). Semua ini menggambarkan besarnya kasih Allah kepada seluruh umat manusia di bumi ini. Dia rindu untuk melihat pertobatan dari bangsa-bangsa agar selamat. Jika Tuhan memiliki persepsi demikian, mengapa kita malah harus bersenang hati melihat kehancuran orang lain? Mari kita menjaga hati kita agar tidak terperosok kepada pemahaman keliru seperti Yunus. Tetaplah berbuat baik, jangan terpengaruh oleh provokasi atau pancingan-pancingan dari orang yang berlaku jahat, tetapi doakanlah mereka dan ampuni. Jika seteru atau orang yang menyakiti kita jatuh, jangan bersenang hati, tapi justru kita harus menunjukkan empati dan berusaha menolong semampunya. Jika itu sulit, berdoalah dan minta agar Roh Kudus memampukan kita untuk melakukannya. Dari Yunus kita bisa belajar, meski kita sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi kita masih mungkin berbuat kesalahan jika kita tidak menjaga hati kita agar tetap seturut kehendak Allah. Mari miliki hati yang lembut dan penuh kasih, karena Allah pun memperlakukan kita semua dengan cara seperti itu.

Damai sejahtera dan sukacita akan selalu ada jika kita mentaati Tuhan dengan segenap hati

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Monday, April 19, 2010

Lari dari Panggilan Tuhan

Ayat bacaan: Yunus 1:2-3
======================
"Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku. Tetapi Yunus bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN; ia pergi ke Yafo dan mendapat di sana sebuah kapal, yang akan berangkat ke Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu untuk berlayar bersama-sama dengan mereka ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN."

lari dari panggilan TuhanLari dari panggilan. Kita sering melakukan hal ini dalam berbagai kesempatan. Mungkin kita merasa kurang mampu, mungkin kita kurang percaya diri, mungkin kita merasa beban itu terlalu berat atau segudang alasan lainnya. Untuk menjawab panggilan memang tidak mudah. Seringkali kita harus meninggalkan zona kenyamanan kita bahkan mengorbankan sesuatu dan masuk ke dalam situasi sulit ketika kita memilih untuk patuh terhadap panggilan. Tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa sebuah panggilan bisa menjadi sebuah titik balik yang bisa mengubahkan hidup kita untuk menapak ke arah yang lebih baik. Ketika saya mendapat panggilan untuk menulis renungan setiap hari, saya merasa itu adalah hal yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin saya yang sangat jarang membuka Alkitab, malah jarang berdoa, disuruh untuk melakukan sesuatu yang seperti ini? Apa yang bisa saya tulis jika saya tidak mengetahui sebagian besar dari isi Alkitab? Tapi saya memilih untuk taat. Setiap hari saya meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk memastikan renungan hadir bagi anda tanpa putus, dan tidak terasa sudah lebih dua tahun saya melakukannya. Bukan karena diri saya sendiri, tapi Tuhan yang memampukan. Selalu saja ada hal yang Dia bukakan untuk ditulis, seperti janjiNya. Dan tidak hanya itu, selama saya aktif menulis, saya mengalami dan menyaksikan begitu banyak mukjizat yang tidak akan mampu terselami akal manusia. Saya pun melihat langsung bahwa ketika Tuhan memberi penugasan, bukan kehebatan kita yang Dia butuhkan, melainkan kesediaan kita. And He, Himself will do the work, through us. All He need is our willingness, obedience and faith.

Apa yang harus kita lakukan ketika Tuhan memanggil kita untuk melakukan sesuatu? Menerima dengan sukacita atau malah lari? Apa yang iperintahkan Tuhan sungguh jelas. Tuhan menginginkan kita untuk taat terhadap panggilanNya. Dia yang menyatakan apa yang harus kita lakukan, kemana harus pergi dan seperti apa kita harus bertindak. Tidak hanya sampai disitu saja, Tuhan pun akan menyediakan cara untuk melaksanakan perintah itu. It's all in one package. Melarikan diri jelas bukan pilihan, karena biar bagaimanapun Tuhan akan memakai caraNya untuk menundukkan kekerasan orang-orang yang dipilihNya, baik dengan cara lembut maupun dengan didikan yang keras. Yunus mengalami hal itu.

Yunus mendapatkan panggilan secara spesifik dari Tuhan. "Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku." (Yunus 1:2). "Niniwe, kota yang begitu jahat. Untuk apa diselamatkan? Dan untuk apa pula aku harus repot-repot menghadapi resiko untuk menyelamatkan kota yang seperti itu?" seperti itulah kira-kira isi pikiran Yunus saat itu. Dan ia pun memutuskan untuk lari. Lari dari Tuhan? Mungkinkah? Kita tahu tidak, tapi Yunus mengira ia bisa lari dari panggilan, dan lari dari Tuhan. Dan inilah yang dilakukan Yunus. "Tetapi Yunus bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN; ia pergi ke Yafo dan mendapat di sana sebuah kapal, yang akan berangkat ke Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu untuk berlayar bersama-sama dengan mereka ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN." (ay 3). Ini sebuah pilihan yang gegabah, karena kita tahu ia kemudian mengalami badai besar di tengah perjalanan dan mendarat di dalam perut ikan yang pasti berbau sangat busuk. Bukan hanya satu dua jam, tetapi hingga tiga hari tiga malam lamanya. (ay 17). Pada akhirnya Yunus menyadari bahwa ia tidak punya pilihan lain selain harus taat, karena Tuhan akan memakai caraNya baik lembut maupun keras untuk menundukkan orang-orang yang sudah ditetapkan untuk dipilihNya.

Perlukah kita mengalami masalah terlebih dahulu untuk mau menuruti panggilan Tuhan? Haruskah kita terlebih dahulu diberi pelajaran untuk taat? Dari Yunus kita bisa belajar bahwa lari dari Tuhan bukanlah solusi. Lari dari panggilan Tuhan tidak akan membuat kita bebas dari perintahNya. Apakah kita memilih untuk menolak dengan tegas atau dengan diam-diam berusaha melepaskan diri dari panggilan Tuhan, kita tidak akan bisa meredam panggilanNya.Tuhan secara tegas sudah menyatakan bahwa bukan kita yang memilih Dia, tetapi Dia lah yang telah memilih kita. "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu." (Yohanes 15:16). Lihatlah dari ayat ini bahwa dibalik panggilanNya yang sudah Dia tetapkan sejak awal, Dia pun telah menyiapkan berkat-berkatNya untuk tercurah pada kita. Sesungguhnya panggilan dari Tuhan merupakan sebuah kehormatan. Paulus mengakui pula hal ini kepada jemaat Galatia. "Tetapi karena kebaikan hati Allah, Ia memilih saya sebelum saya lahir dan memanggil saya untuk melayani Dia." (Galatia 1:15). It's a God's grace indeed, and it's truly an honor.

Mungkin tidak gampang, mungkin berat, namun belajarlah taat terhadap panggilanNya. Sebab bukan kuat dan hebatnya kita yang diperlukan, namun kerelaan hati dan kesediaan kita untuk menuruti kehendak Tuhan karena kita mengasihiNya. Kepada Yeremia pun Tuhan mengingatkan: "Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau, demikianlah firman TUHAN." (Yeremia 1:7-8). Ketika Tuhan menyuruh, sebenarnya Dia sendirilah yang bekerja dengan memakai kita. Tuhan tidak membutuhkan ahli-ahli dan jagoan. Yang Dia butuhkan adalah orang yang memiliki hati yang rindu untuk mengasihi orang lain, yang dengan sukacita menuruti panggilanNya. Yunus sudah melakukan hal yang keliru, dan ia pun sudah mendapatkan pelajaran. Jangan lari dari panggilanNya. Taatlah sejak awal ketika Tuhan menanamkan sesuatu dalam diri anda untuk dikerjakan. Find your calling and do it the best you can. Jangan sampai kita mengulangi kekeliruan Yunus terlebih dahulu untuk taat kepadaNya.


Adalah sebuah kehormatan besar ketika Tuhan mau memakai kita, karena itu bersyukurlah dan lakukan yang terbaik dengan penuh sukacita

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Sunday, April 18, 2010

An Eye for an Eye

Ayat bacaan: 1 Petrus 2:15
======================
"Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh."

mata ganti mataAn eye for an eye, mata ganti mata, itu merupakan sebuah hukum yang berlaku di masa Perjanjian Lama sesuai dengan hukum Taurat. Kita bisa menjumpai perihal mata ganti mata ini dalam beberapa bagian kitab Perjanjian Lama, diantaranya dalam Imamat 24:19-20, Ulangan 19:21 dan Keluaran 21:24. Ini adalah hukum yang diberlakukan untuk mencegah semangat balas dendam yang berlebihan di masa itu. Hukum yang sudah berusia sangat tua ini ternyata masih dianggap relevan oleh banyak orang bahkan hingga hari ini. Prinsip balas dendam ini berlaku bukan saja untuk perorangan, tapi seringkali sudah menyangkut lintas bangsa. Berbagai peperangan pun acap kali disebabkan oleh prinsip mata ganti mata seperti ini. Bukan saja dilakukan oleh orang-orang dunia, tetapi ironisnya di kalangan anak Tuhan sekalipun prinsip balas dendam ini masih saja terjadi. Ketika kita disakiti, kita pun tidak akan tinggal diam untuk membalas, malah kalau bisa lebih sakit lagi. "Saya bisa lebih baik 100x lipat jika orang baik pada saya, tapi sebaliknya jika saya disakiti orang, saya bisa menyakitinya 1000x lipat dari itu." kata seorang teman menyatakan prinsipnya.

Ketika kita merasa dikecam, dipersulit, dipermalukan atau dihujat orang, tindakan manusiawi kita biasanya adalah membalas kembali. Jika tidak, artinya kita menyerah kalah dan akan semakin dipijak-pijak. Itu pola pikir dunia yang sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh banyak orang. Padahal jika dipikir lagi, apa yang bisa kita dapatkan dari balas dendam seperti itu? Kepuasan? Biasanya tidak, karena masalah puas dan tidak itu sangat subjektif dan begitu semu. We tend to fight fire with fire. "Itu yang adil, bukan?" demikian isi pikiran kita. Yang sering terjadi adalah, kita hanya akan menambah masalah, menambah bahan bakar pada api yang sudah menyala. Api akan semakin besar, dan pada akhirnya kita tidak lagi bisa meredamnya. Kehancuran suatu generasi atau bangsa pun bisa menjadi akibat dari pola pikir balas dendam seperti ini.

Firman Tuhan hadir lewat Petrus. "Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh." (1 Petrus 2:15). Tuhan ternyata mengingatkan kita untuk melawan kecaman dan serangan dari orang lain bukan dengan membalas, melainkan lewat perbuatan baik. When the fire starts, somebody has to stop it, bukan malah dengan menambah bara api untuk semakin menjadi-jadi. Dengan cara apa? Sekali lagi, dengan tetap berbuat baik bahkan terus mendoakan mereka dan memohon pengampunan bagi mereka. Dengan cara demikian, kita akan mampu membungkam kepicikan mereka yang telah menyakiti kita. Itu tugas kita, orang-orang percaya, seperti yang diajarkan Tuhan Yesus sendiri.

Yesus datang membawa pesan akan sebuah paradigma baru. Yesus memulainya dengan menyitir hukum Taurat mengenai mata ganti mata di atas. "Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu." (Matius 5:38-39). Terlihat sulit bukan? Yesus melanjutkan pula dengan ini: "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (ay 43-44). Sulit, namun kita harus mampu mencapai tingkatan seperti itu, "karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga.." (ay 45).

Salah satu tugas Kristus turun ke dunia ini adalah untuk menggenapi hukum Taurat. (Matius 5:17). Sebagai orang percaya, kita pun diharuskan untuk menjalankan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Berhadapan dengan orang sulit? Orang yang menghujat, mengecam, menjelek-jelekkan kita? Hadapi bukan lagi dengan membalas, mendebat mreka kembali, bukan dengan membela diri kita dengan segala cara, melainkan dengan berdiam diri dan terus melakukan perbuatan baik. Lawan kebencian dengan kasih, yang telah dianugerahkan Tuhan secara langsung dalam diri kita. Itulah yang menjadi kehendak Allah. Tuhan Yesus sendiri telah memberi teladan secara langsung. Dalam perjalananNya di muka bumi ini bukan hanya sekali dua kali Yesus menghadapi kecaman oleh kalangan rohaniwan di masa itu, tapi Dia tidak pernah membalas dengan perlawanan kembali. Sebagai gantinya, Kisah Para Rasul 10:38 memberikan kesaksian indah mengenai apa yang diperbuat Yesus menghadapi itu semua. "..tentang Yesus dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia." Secara konsisten Yesus terus fokus untuk menjalankan tugas yang digariskan Bapa. Bahkan ketika menghadapi siksaan mengerikan hingga wafatNya di atas kayu salib sekalipun. Bukankah Yesus masih memohonkan pengampunan kepada orang-orang yang telah begitu kejam menyiksaNya? "Yesus berkata: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34).

Don't fight fire with fire, but fight it with love. Jangan lawan kobaran api dengan menambah bahan bakar, tetapi padamkanlah dengan kasih. Tuhan tidak menginginkan kebencian apalagi sampai pembalasan dendam untuk menjadi prinsip hidup kita. Tuhan menginginkan kita untuk bisa hidup damai dengan semua orang, termasuk dengan orang-orang yang sulit dan kerap menyakiti kita. "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" (Roma 12:18). Jangan tergoda untuk membalas perbuatan jahat orang lain terhadap diri kita, tetapi ikutilah petunjuk dalam surat Paulus untuk Timotius. "Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu." (2 Timotius 3:14). Bungkamlah kecaman picik dengan terus berbuat baik dan teruslah hidup dalam iman. Maka pada suatu saat, ketika semua kecaman itu memudar, kita akan mendapatkan diri kita tetap berdiri teguh tanpa harus kehilangan sukacita.

Don't fight fire with fire, but fight it with love

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Saturday, April 17, 2010

Gambaran Yesus Lewat Sikap Kita

Ayat bacaan: Kisah Para Rasul 4:13
============================
"Ketika sidang itu melihat keberanian Petrus dan Yohanes dan mengetahui, bahwa keduanya orang biasa yang tidak terpelajar, heranlah mereka; dan mereka mengenal keduanya sebagai pengikut Yesus."

gambaran Yesus lewat sikap kita"Anak siapa sih ini, kok bandel banget!" ujar seorang teman yang sedang kesal ketika ia terganggu saat ditontoni saat sedang bekerja. Bukan si anak yang disalahkan, tapi kata-katanya langsung menuju kepada orang tua si anak. Kita pun mungkin sering mengeluarkan kata demikian, karena kita merasa bahwa anak kecil tidaklah tahu apa-apa. Memang tugas orang tua untuk mendidik anaknya agar tahu tata krama dan sopan santun. Tapi satu hal yang bisa saya lihat dari kejadian ini adalah seperti apa tingkah laku si anak akan memberi gambaran orang tuanya di mata orang lain. Jika anaknya baik, maka orang tuanya pun dipuji. Sebaliknya jika anaknya bermasalah, serta merta orang tua akan menjadi sasaran tembak orang lain.

Seperti apa orang mengenal kita? Apakah kita dikenal sebagai orang yang baik, ramah, damai, penuh kasih, rajin menolong sesama atau justru sebaliknya, kasar, sombong dan penuh kebencian? Apakah ketika kita hadir orang merasa senang atau sebaliknya ketakutan atau malah kehilangan keceriaan? Sebagai pengikut Yesus, seperti apa citra kita di mata orang lain mau tidak mau akan mengarahkan orang untuk mengenal seperti apa Yesus itu. Orang akan mengenal Yesus lewat pribadi kita.

Pada suatu kali Petrus dan Yohanes ditangkap ketika sedang mengajar oleh para imam kepala dan orang-orang Saduki. Mereka merasa terganggu dengan kegiatan kedua rasul itu dalam mewartakan kabar gembira mengenai Kristus. Penangkapan itu ternyata tidak melemahkan mental mereka. Dan Alkitab mencatat tanggapan orang-orang yang hadir dalam persidangan kala itu. "Ketika sidang itu melihat keberanian Petrus dan Yohanes dan mengetahui, bahwa keduanya orang biasa yang tidak terpelajar, heranlah mereka; dan mereka mengenal keduanya sebagai pengikut Yesus." (Kisah Para Rasul 4:13). Lihat bagaimana kedua rasul itu dikenal orang. Mereka dikenal bukan sebagai orang terpelajar, bukan seperti para imam dan orang Saduki yang elite dan punya posisi tinggi di masyarakat, namun mereka dikenal sebagai pengikut Kristus. Citra Kristus tergambar dari cara hidup, pikiran dan perkataan mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah, keduanya dibebaskan karena memang tidak ada kesalahan apapun yang bisa didakwa dari mereka. (ay 21).

Sadar atau tidak, seperti apa tingkah dan polah kita dalam bermasyarakat akan mengarah kepada pengenalan orang akan Kristus. Oleh karena itulah kita perlu menjaga perilaku kita agar orang tidak salah mengenal siapa pribadi Kristus itu sebenarnya. Tuhan Yesus sendiri mengingatkan kita agar selalu siap menjadi terang dan garam. "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Matius 5:13-16). Garam hanya akan berfungsi jika bercampur dengan makanan. Dan jika garam menjadi hambar, buat apalagi garam itu ada? Demikian pula dengan terang. Terang hanya akan berfungsi dalam gelap. Jika semuanya terang benderang, untuk apa lagi kita menambahkan terang? Posisi terang ada di atas, dan hanya disanalah ia mampu menerangi kegelapan. Dan Tuhan Yesus pun mengingatkan kita agar kita senantiasa mampu menjadi terang dan garam agar Tuhan bisa dipermuliakan. Lebih jauh lagi, Yesus pun telah memerintahkan kita untuk saling mengasihi. Bukan hanya sekedar mengasihi orang lain seperti mengasihi diri kita sendiri saja, melainkan mengasihi orang lain seperti halnya Kristus sendiri telah mengasihi kita. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi." (Yohanes 13:34). Hal ini penting, karena "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi." (ay 35).

Tidak peduli apa pekerjaan, jabatan, status dan tempat kita saat ini, kita selalu dituntut untuk siap menjadi terang dan garam yang bisa mewakili gambaran Kristus di dunia saat ini. Bahkan orang yang dianggap bodoh bagi dunia sekalipun bisa Tuhan pakai. "Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat." (1 Korintus 1:27). Artinya, siapapun kita, anda dan saya, kita harus selalu siap menjadi duta Kristus dimanapun kita ditempatkan. Alangkah ironis jika Yesus yang mengasihi kita justru mendapat gambaran yang salah di dunia lewat perilaku kita. Yesus sendiri telah mengingatkan kita dan telah memberikan keteladanan yang luar biasa. Kita harus terus berusaha untuk menjadi sosok yang penuh dengan kemuliaan Tuhan sehingga tidak diragukan oleh siapapun disekeliling kita. Dan sudah seharusnya demikian, karena kita sudah menjadi ciptaan baru, tidak lagi sama dengan dunia ini, yang dipenuhi Roh Kudus. Adalah perlu bagi kita untuk menghidupi cahaya Tuhan dalam diri kita hingga orang asing di pinggir jalan sekalipun akan mampu melihat Yesus lewat diri kita. Siapkah anda menjadi duta Kristus yang memberi gambaran yang benar akan diriNya?

Siapa Yesus bisa tercermin dari sikap hidup kita. Jagalah perilaku kita agar Tuhan senantiasa dipermuliakan di dalamnya

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Friday, April 16, 2010

Berdoa dengan Ucapan Syukur

Ayat bacaan: Filipi 4:6
=======================
"Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur."

berdoa dengan ucapan syukurBagaimana kehidupan yang kita jalani setelah memasuki bulan ke 4 di tahun 2010 ini? Bagi sebagian orang hidup di tahun ini mungkin lebih berat dibanding tahun sebelumnya. Setiap tahun hidup semakin sulit, dan pada kenyataannya memang dunia tidak pernah dikatakan akan menjadi semakin mudah. Seribu satu tekanan terus membebani kita, seribu satu masalah datang silih berganti bahkan menyerbu beriringan, dan kekhawatiran pun biasanya menjadi bagian hidup kita yang sulit terpisahkan. Sekali lagi, hidup tidaklah mudah. Kita selalu harus berjuang untuk mampu bertahan hidup di dunia yang sulit ini, apalagi bertahan menghadapi berbagai hal yang siap menghancurkan iman kita. Tapi haruskah kita terus hidup dibawah tekanan kekhawatiran? Tuhan tidak menginginkan satupun dari kita untuk merasakan itu. Tuhan tidak menginginkan kita untuk masuk ke dalam pola kehidupan dunia yang penuh dengan kecemasan. Apa yang diinginkan Tuhan adalah agar kita tidak takut, tidak khawatir, tidak perlu cemas, karena Allah siap menjadi tempat kita berlindung. Dia siap mendengar dan menjawab doa-doa kita. Tapi ada satu kunci yang seringkali kita lupakan, yaitu mengisi doa-doa kita dengan ucapan syukur.

Firman Tuhan yang saya jadikan ayat bacaan hari ini berbicara jelas mengenai hal tersebut. "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur." (Filipi 4:6). Mengapa hal ini penting untuk diingat? Karena pada kenyataannya ada banyak di antara kita yang lupa untuk mengisi doa-doa kita dengan ucapan syukur. Mungkin kita memang memulai doa kita dengan ucapan terima kasih, tapi seberapa banyak yang benar-benar menghayati ucapan syukur itu secara sungguh-sungguh? Seringkali kita hanya sekedar terbiasa mengucapkannya sementara isi pikiran kita sudah langsung penuh dengan daftar permintaan sejak awal kita mulai berdoa. Tuhan tidak menginginkan yang seperti itu. Dia ingin kita terlebih dahulu percaya lewat iman kita. Dia ingin kita memulai doa kita tanpa diselimuti perasaan khawatir, lalu mengangkat permohonan kita dengan rasa percaya yang penuh, dan hanya itu yang memungkinkan kita untuk mampu mengisi doa dengan ucapan syukur yang sesungguhnya. Tuhan ingin rasa sukacita dalam diri kita tidak hilang dalam keadaan apapun, dan rasa sukacita itulah yang memampukan kita untuk bisa menaikkan puji-pujian dan rasa syukur kita.

Sukacita. Seperti apa sukacita itu? Ada banyak orang yang mengaitkan sukacita dengan kondisi yang tengah dialami saat ini. Tekanan, problema kehidupan, permasalahan dan pergumulan akan membuat sukacita berkurang atau malah hilang sama sekali. Sebaliknya hidup yang sedang tenang akan membuat kita mampu bersukacita. Itu bukanlah sukacita yang sebenarnya. Alkitab jelas berkata seperti ini: "Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!" (Nehemia 8:11b). Artinya, sukacita yang sesungguhnya bukanlah yang berasal dari apa yang kita alami, melainkan berasal dari Tuhan. Sukacita karena Tuhan, itulah yang menjadi perlindungan kita. Bukannya kita harus kehilangan sukacita karena tertimpa beban, namun justru sukacita itu seharusnya mampu memberikan sebentuk kekuatan tertentu yang memampukan kita bertahan bahkan keluar sebagai pemenang di tengah kesulitan apapun. Itulah sukacita yang sesungguhnya, dan itulah yang memampukan kita untuk terus mengucap syukur dengan tulus dan sungguh-sungguh dalam penghayatan penuh dalam doa kita, meski situasi dan kondisi sulit sekalipun tengah berkecamuk dalam hidup kita.

Itulah ucapan syukur yang dikehendaki Tuhan untuk hadir dari hati, memenuhi pikiran dan keluar dari mulut kita dalam berdoa menaikkan permohonan. Itulah yang memungkinkan kita untuk menerima jawaban dari Allah. Bukan sekedar ucapan syukur biasa, tetapi sebuah ungkapan syukur yang berasal dari hati terdalam kita, yang dipenuhi sukacita dan dihayati secara sungguh-sungguh. Naikkan dengan penuh ucapan syukur, dan jangan lupa pula, lakukan dalam nama Yesus. Sebab firman Tuhan berkata "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kolose 3:17). Lalu kita pun diingatkan untuk "Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur." (4:2). Jangan pernah berhenti, putus asa atau hilang harapan. Teruslah bertekun dan tetaplah siaga sambil mengucap syukur kepada Allah, teruslah lakukan demikian hingga tiba saatnya dimana tangan Tuhan sendiri yang akan turun mengangkat anda keluar dari masalah dan mengabulkan permohonan-permohonan anda.

Kita tidak perlu khawatir meski berada dalam kondisi seperti apapun, karena kita punya Allah yang setia dan penuh belas kasih. Berada dalam himpitan masalah sekalipun bukan berarti kita harus cemas, karena sesungguhnya Tuhan tidak pernah sekalipun meninggalkan kita menghadapi itu semua sendirian. Rest your worries on Him. Tuhan mendengar dan siap mengabulkan permohonan kita. Tapi nyatakanlah itu dengan ucapan syukur yang sesungguhnya. Penuhi diri kita terlebih dahulu dengan iman yang disertai rasa percaya sepenuhnya, jangan biarkan sukacita Allah yang sejati hilang dari diri kita, lalu berdoalah. Betapa pentingnya ucapan syukur dalam hidup kita, bukan saja ketika hidup tengah tenang, tapi terlebih ketika guncangan demi guncangan tengah membuat kita terlempar kesana kemari. Itulah yang diinginkan Tuhan untuk kita lakukan. "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18). Tidak ada perkara mustahil untuk dilakukan Tuhan bagi kita orang percaya. Imanilah itu, dan berhentilah khawatir. Tetaplah bersukacita, penuhi doa anda dengan ucapan syukur yang percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Berhentilah memusingkan masalah dan mengisi doa hanya dengan sederet daftar permintaan, gantilah dengan ucapan syukur yang tulus dari hati. Percayalah bahwa Tuhan siap untuk mengabulkan permintaan anda, yang tersulit sekalipun.

Kecemasan menghambat doa kita, karena itu gantilah dengan ucapan syukur yang tulus yang berasal dari hati

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho

Thursday, April 15, 2010

Abraham dan Bintang-bintang di Langit

Ayat bacaan: Kejadian 15:5-6
=========================
"Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran."

abraham dan bintang di langitAdalah mudah untuk membaca firman Tuhan, tapi seringkali sulit untuk mempercayai bahwa firman itu bisa berlaku bagi kita. Menyetujuinya mungkin mudah, tapi mudahkah bagi kita untuk percaya baha pernyataan Tuhan itu akan berhasil bagi kita? Setiap kita akan pernah berhadapan dengan masa-masa dimana kita akan berhadapan dengan situasi dimana kita begitu terpukul dengan keadaan yang sangat buruk sehingga sulit bagi kita untuk percaya akan janji Tuhan. Ketika Paulus berkata "Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita." (Roma 8:37), bagaimana mungkin hal itu bisa kita terima ketika masalah sedang berat-beratnya menimpa kita? Tidak mudah memang, tapi bukan tidak mungkin. Setidaknya Abraham pernah mengalami dan membuktikan sendiri.

Lihatlah bagaimana Abraham di masa tuanya tiba-tiba mendapatkan janji Tuhan yang secara logika sama sekali tidak masuk akal. Tuhan menyatakan kepada Abraham bahwa ia akan menjadi bapa dari sejumlah besar bangsa (Kejadian 17:4). Itu dijanjikan ketika ia tidak lagi berada dalam masa subur. Abraham dan istrinya, Sara, sudah jauh melewati masa-masa itu! Masa dimana masih memungkinkan bagi mereka untuk memperoleh keturunan. Satu saja sudah sulit diterima akal, apalagi menjadi bapa sejumlah besar bangsa? Ditambah lagi Sara dikatakan mandul sepanjang hidupnya. (Kejadian 11:30). Bayangkan, bagaimana sepasang suami istri tua, kakek dan nenek yang mandul, dapat mempunyai anak, yang akan membentuk sejumlah besar bangsa? Tidak, itu tidak masuk akal sama sekali.

Tuhan ternyata tahu pergumulan Abraham, yang waktu itu masih dikenal dengan Abram. Untuk membantunya, Tuhan pun memberi gambaran yang menurut saya sangat indah dan puitis. "Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." (Kejadian 15:5). Saya membayangkan Abram menatap bintang-bintang yang berkerlipan di langit malam. Saya membayangkan Abram mulai menghitung bintang itu satu persatu, sambil mata hatinya terus dipenuhi dengan janji Tuhan. Sama seperti kita, Abraham pun manusia yang punya akal. Sedikit banyak ia pasti bingung dengan apa yang dijanjikan Tuhan itu. Namun iman yang dimiliki Abraham menjadi faktor pembeda utama antara dirinya dengan kita yang masih bergumul untuk mampu mempercayai firman Tuhan. Dikatakan demikian: "Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." (ay 6). Tidak masuk akal, tapi ia mampu percaya sepenuhnya, hingga hal itu pun mendapat pengakuan dari Tuhan sebagai kebenaran. Wow.

Iman. Itulah pembedanya. Tidak heran jika Abraham dikenal sebagai bapa orang beriman. Berkali-kali ia menghadapi ujian iman yang terus menerus ia menangi. Dan kita tahu yang terjadi kemudian, janji Tuhan itu menjadi kenyataan dalam hidupnya. Iman seperti itulah yang dapat kita contoh dari sosok Abraham, sebuah iman yang mampu meyakinkan kita bahkan terhadap hal yang paling mustahil sekalipun. Penulis Ibrani pun menggambarkan hal ini. "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1). Itulah iman, yang mampu mendasari segala harapan kita dan mampu pula menjadi bukti sebelum kita bisa melihat kenyataannya secara riil.

Jika sulit bagi anda saat ini untuk bisa mengamini firman Tuhan berlaku bagi kita, teruslah renungkan firman Tuhan. Luangkan waktu untuk membayangkan janji Tuhan itu, teruslah renungkan hingga image dari janji Tuhan itu secara perlahan terbentuk dalam diri anda sampai mencapai kepenuhan. Renungkan, renungkan dan renungkan terus, pusatkan perhatian kepada janji-janji Tuhan yang telah dinyatakan dalam Alkitab. Dan anda bisa memperolehnya tepat seperti apa yang telah dibuktikan Abraham dalam hidupnya. Tidak akan pernah sia-sia untuk merenungkan firman Tuhan, karena dikatakan bahwa orang "yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil." (Mazmur 1:1-2). Seperti Abraham menatap bintang dan mulai menghitung satu persatu sambil membentuk gambaran nyata dalam hatinya hingga jadi, demikian pula kita harus mulai mengambil waktu untuk merenungkan firman Tuhan, hingga gambaran janji Tuhan menjadi nyata di dalam diri kita. Pada saatnya, kita akan melihat bahwa tidak satupun janji Tuhan yang sia-sia, dan juga berlaku bagi kita tanpa terkecuali.

Renungkan firman Tuhan dan bentuklah gambarannya dalam diri anda hingga mencapai kepenuhan

Follow us on twitter: http://twitter.com/dailyrho